Tradisi Hindu, dan Kilas Balik Kedatangan Migran Bali ke Pulau Lombok

Beritalombok.com

Ditulis oleh Erni, orang Bali telah tinggal di pulau Lombok ini selama lebih dari 4 abad. Migrasi awal ditandai dengan kedatangan Raja Gelgel dan pasukannya pada tahun 1616 dan 1624 untuk merebut kekuasaan dari penguasa asli Lombok, Raja Seaparang, namun tidak berhasil.

Tetapi pada tahun 1675, Anak Agung Ngurah Karangasem berhasil menaklukkan Selaparang dan akhirnya menguasai Lombok Barat, sebagian Lombok Utara dan Tengah selama lebih dari dua abad.
Namun Belanda berhasil mengalahkan dan mengusir orang Bali dari Lombok pada tahun 1898 melalui pertempuran berdarah yang dikenal dengan puputan. Tetapi meski sudah dikalahkan, banyak dari pengikut raja tidak kembali ke tanah leluhurnya, Bali.
Mereka inilah yang secara turun-temurun melahirkan generasi yang menguasai tanah-tanah pertanian dan perkebunan kelas 1 pemberian Raja Bali di Lombok Barat. Tanah Lombok memang diberkahi lahan yang subur dan cocok ditanami beragam jenis buah-buahan.

Selain melalui penaklukan, bencana alam seperti Gunung Agung di tahun 1963 juga mendorong orang-orang Bali Timur berimigrasi ke Lombok. Gunung Agung pertama kali meletus pada tahun 1963 dan menewaskan 1.148 orang.
Letusan ini membuat eksodus ribuan pengungsi dari Bali terutama Kabupaten Karangasem ke Lombok. Sebagian besar melewati pelabuhan Padang Bali yang termasuk dalam Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem menuju pelabuhan Lembar, Lombok Barat.

Setelah tahun 1963, letusan Gunung Agung juga terjadi pada 21 November 2017. Letusan kali ini tidak sedahsyat letusan pertama, meski demikian ledakan ini membawa debu vulkanik yang tersebar sampai ke Lombok.
Dinas Sosial Provinsi NTB melaporkan terdapat lebih dari 300 warga Bali yang mengungsi. Mereka langsung menuju ke keluarganya, para pengungsi ini mengkhawatirkan terulangnya ledakan dahsyat pada tahun 1963.
Erni menyatakan, Dusun Sedayu Utara yang terletak di Desa Kediri Selatan, Kecamatan Kediri, Lombok Barat adalah salah satu dari sejumlah dusun di Lombok yang sampai kini dihuni oleh warga Bali.
“Pada tahun 1963, mereka menyelamatkan diri ke dusun ini dari letusan Gunung Agung,” ucapnya.
Lombok sebagai pulau tetangga selalu menjadi katup pengaman terdekat bagi orang-orang Bali yang ingin menyelamatkan diri dari ancaman bencana alam. Selain itu tanah Lombok yang subur menjadi daya tarik tersendiri.
Biasanya migran terdahulu dan anak keturunan mereka yang telah menetap di Lombok akan menyediakan tempat pesinggrahan bagi migran yang datang. Migran yang telah menetap biasanya secara sosio ekonomi sudah mapan.
“Migran yang datang kemudian akan banyak mendapat dukungan, dalam arti menyediakan jejaring sosial yang menghubungkan dengan pasar pencarian kerja (jobmarket), bahkan menyediakan tempat tinggal sementara,” papar Erni.
Peradaban Hindu di Lombok Pengaruh Hindu-Bali terbesar di Mataram terpusat di Cakranegara. Di bawah pemerintahan Karangasem, Cakranegara dikembangkan sebagai pusat pemerintahan dan sekaligus menjadi sentral permukiman Hindu-Bali.
Raja Karangasem dengan para pengikutnya membangun pemukiman yang berbentuk kotak-kotak persegi panjang atau pola grid yang dalam bahasa Bali disebut karang (perumahan).
Karang mengambil nama dari dusun asal mereka masing-masing di Karangasem, seperti Karang Blumbang, Karang Bengkel, Karang Jasi, Karang Sampalan, Karang Medaing.
“Ini dimaksudkan agar setiap penghuni karang tidak melupakan asal-usulnya di Bali, dan agar orang luar mengetahui di mana asal keberadaan mereka sebelum bermukim di Lombok,” beber Erni.

Ngayah, Tradisi Gotong Royong Khas Bali yang Mampu Tingkatkan Toleransi
Setelah permukiman, Kerajaan Bali juga membangun rumah ibadah, Pura Meru yang hingga kini menjadi Pura terbesar di Lombok. Tidak lama setelah pembangunan Pura Meru, Raja Karangasem membangun istana di pusat pemerintahannya yang disebut Puri Ukir Kawi.
Kawasan Cakranegara memiliki tata ruang yang disesuaikan pula dengan adat kebiasaan dan kepercayaan Hindu-Bali. Tata ruang kota yang terdiri dari blok-blok kota yang dihubungkan oleh jalur-jalur yang teratur dan rapi.
Semasa pemerintahan, Kerajaan Karangasem di Pulau Lombok muncul beberapa kerajaan-kerajaan kecil Hindu-Bali seperti Kerajaan Pagesangan, Kerajaan Pagutan, Kerajaan Singasari, dan Kerajaan Mataram.
Di samping kompleks perumahan (karang), istana (puri), Pura Meru dan Taman Mayora, dibangun pula beberapa pura-pura lain yang dilengkapi dengan landscape pertamanan yang luas dan indah.
Pura Narmada dengan taman Narmada, Pura Lingsar yang terletak di dalam Taman Lingsar, Pura Suranadi dengan Taman Suranadi adalah beberapa warisan Raja Bali yang kini menjadi bagian dari ikon pariwisata di Mataram dan Lombok Barat.
Konsep Tri Hita Karana melandasi pembangunan landscape pertamanan sebagai bagian inherent dari tempat pemujaan. Tri Hita Karana bermakna: menjalin hubungan yang selaras dan seimbang antara manusia dengan penciptanya, manusia dengan sesama makhluk, dan manusia dengan alam.
“Keharmonisan ketiga hubungan ini tercermin dengan kebersamaan umat Hindu dalam menyelenggarakan aktivitas pemujaan kolektif di dalam pura, dan memelihara alam yang mengelilingi pura,” pungkas Erni.


Penulis : bbn/lom


 
News Lainnya
Berita Lainnya