Situs Wadu Pa'a, Dikelola BPCB Bali Namun Terabaikan
beritalombok.com
Situs Wadu Pa'a merupakan salah satu peninggalan sejarah tertua di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Candi Wadu Pa'a terletak di Desa Kanta, Kecamatan Soromandi, tepatnya sekitar 43 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten Bima telah ditetapkan sebagai cagar budaya.
Situs yang reliefnya menggambarkan kisah-kisah mengenai agama Hindu dan Buddha tersebut di bawah penanganan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Denpasar di Bali, namun kondisinya saat ini terbengkalai dan hampir tidak ada pengunjungnya lagi.
Situs yang berada di kawasan bagian dari sisi barat laut Teluk Bima pemeliharaannya menjadi kewenangan Pemda Bima.
Padahal, situs tersebut dianggap memiliki potensi peninggalan sejarah yang harus dilestarikan.
Situs Wadu Pa'a terletak di Desa Kanta, Kecamatan Soromandi, tepatnya sekitar 43 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten Bima. Situs itu telah ditetapkan menjadi cagar budaya.
Kawasan ini merupakan bagian dari sisi barat laut Teluk Bima, yang menghadap ke lautan lepas. Pemandangan di Teluk Sowa berhias tebing yang berbatasan langsung dengan ombak yang mengalun tenang. Keberadaan situs ini juga terlindungi oleh tiupan angin dan gelombang laut.
Sebenarnya, situs ini relatif mudah dijangkau dengan menggunakan kendaraan roda dua. Hanya saja, akses jalan masuk ke situs ini tidak terawat dengan baik.
Akses jalan itu belum diaspal dan tak layak dilalui sehingga licin dan berlumpur setelah diguyur hujan. Jalan rusak itu hampir sepanjang 200 meter. Jalan menuju candi ini berupa turunan yang lumayan curam dan hanya bisa dilewati kendaraan roda dua.
Keberadaan Candi Wadu Pa'a ini cukup strategis, karena lokasinya tidak jauh dari jalan utama lintas Soromandi. Hanya sekitar satu jam dari pusat Kota Bima dan juga beberapa menit dari Desa Kananta.
Setelah menghadapi jalan yang buruk, di kawasan candi tebing ini terdapat situs-situs sejarah yang menarik untuk diungkap. Namun, kesan tidak terawat alias terbengkalai begitu memasuki kawasan tersebut.
Masuk lebih dalam, di sepanjang jalan setapak, tepatnya di tempian pantai teluk kecil itu ditemukan beberapa bagian tebing yang telah dihiasi relief klasik. Warga Bima meyakini bahwa posisi candi tersebut pernah dijadikan tempat pemujaan atau pertapaan oleh para leluhur, jauh sebelum Islam memasuki Bima.
Warga setempat menjulukinya Wadu Pa'a yang bermakna batu berpahat. Dalam bahasa Suku Mbojo, batu pahat terbagi menjadi dua kata, yakni wadu dan pa'a. Wadu artinya batu dan pa'a artinya pahat. Jadi, Wadu Pa'a adalah batu yang dipahat.
Ukiran-ukiran pada Wadu Pa'a mengandung nilai historis yang sangat tinggi karena media ukirannya bukan batu biasa. Melainkan, tebing-tebing batu yang berbentuk stupa.
Dalam area situs tersebut, terdapat beberapa bagian tebing memiliki berbagai arca, prasasti, persis seperti relief yang ada di Candi Borobudur. Biasanya, menggambarkan kisah-kisah mengenai agama Hindu dan Buddha.
Sebagian warga menduga bahwa bagian tebing yang telah dihiasi relief klasik itu pernah dijadikan sebagai tempat ibadah atau pertapaan oleh para leluhur di kala itu.
Relief dan arca yang terukir di tebing ini sebagian masih dapat dikenali. Ditebing itu pula terdapat ukiran figur Ganesha, simbol pengetahuan dan kecerdasan.
Ada juga figur Siwa dalam posisi berdiri, seperti pada candi-candi yang ada di Jawa. Namun, sebagian mahakarya di masa lampau ini sudah tidak utuh lagi. Sebagian telah rusak atau rontok kepalanya karena terkikis usia.
Sementara di pojok selatan candi itu dijumpai sebuah ceruk atau gua buatan, yang di dalamnya terdapat beberapa dudukan yang dipahat dalam tebing. Di ceruk itu pula terdapat untaian kata berbahasa Sansekerta yang diukir indah.
Di situs ini juga ditemukan coretan-coretan dengan cat minyak, menjadi bukti bahwa situs ini memang telah banyak dikunjungi oleh para pendatang terutama dari Negara Eropa.
Sementara di dinding tebing lain terukir semacam bangunan rumah dengan atap bersusun banyak, persis seperti lingga yoni atau lambang Siwa.
Lingga dan yoni itu berhadapan dengan satu sosok lelaki yang duduk bersila di sudut tebing. Sayangnya, ukiran wajah lelaki itu sudah tak lagi dapat dikenali.
Menurut seorang budayawan Bima, Alan Malingi, candi tebing ini merupakan bagian dari tempat suci berabad silam. Bentuk ukiran pun mengisyaratkan bahwa candi tebing Wadu Pa'a adalah peninggalan agama Buddha dan Hindu pada masa itu.
"Wadu Pa’a ini utamanya untuk pemujaan yang mengandung unsur Buddha dan Hindu. Jika dilihat dari gaya pahatannya, mungkin dibuat pada masa Majapahit atau sebelumnya," kata Alan Malingi.
Karena kondisi situs yang sudah tidak terawat, kini aksara yang terpahat dalam situs sudah terkikis yang akhirnya sulit terbaca. Sehingga, pendapat mengenai berbagai ukiran mengandung unsur Buddha dan Hindu itu perlu ditinjau ulang demi memastikan kebenarannya.
Tidak banyak catatan sejarah mengenai siapa yang membangun tempat pemujaan itu. Namun, warga Bima mempunyai keyakinan bahwa pahatan-pahatan ini merupakan karya Sang Bima, seorang musafir dari bangsawan Jawa.
Candi tebing ini kesan tidak terawat, ukiran kuno yang menghiasi tebing-tebing pun sudah mulai terkikis. Begitu juga fasilitas pendukung di kawasan wisata ini banyak yang rusak dibanyak tempat.
Konon, pada masa lampau, tepatnya pada abad ke-11 pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, candi tebing ini dipahat dua orang bersaudara yakni Indra Zamrud dan Indra Komala yang merupakan anak Sang Bima, bangsawan dari Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur. Dua anak itu merupakan buah dari perkawinan dengan salah satu putri seorang ncuhi atau kepala suku.
Saat itu, Sang Bima hendak meninggalkan tanah Bima, dia didatangi oleh para ncuhi untuk diminta kesediaan menjadi pemimpin tanah Bima. Pada saat itu, Sang Bima sedang memahat tebing kaki bukit Lembo, Dusun Sowa, Desa Kananta, yang akhirnya tenar dengan sebutan Wadu Pa'a.
Peninggalan sejarah ini memiliki arti penting sebagai bukti peristiwa bersejarah yang terjadi di masa lalu, dan sebagai sumber belajar untuk mengenal Indonesia dari masa ke masa.
Meski telah dipagari oleh pemerintah, akhir-akhir ini wisatawan seakan tak tertarik mengunjungi Candi Wadu Pa'a ini. Beberapa sudut candi terlihat dipelihara ala kadarnya. Sementara di sisi luar candi banyak bangunan dalam kondisi rusak. Seperti pos penjagaan dan pengawasan yang hingga saat ini masih dibiarkan terbengkalai.
Sudah bertahun-tahun, pos penjagaan yang dibangun lengkap dengan fasilitas toilet itu dibiarkan terlantar hingga rusak parah. Puing-puing bangunan itu, kini banyak yang berserakan. Yang masih tersisa pada bangun itu hanya dinding tembok setinggi satu meter dengan kondisi yang terlihat kusam.
Tidak hanya itu, kerusakan juga terlihat pada tiang pagar yang melingkari candi tebing. Tiang-tiangnya banyak yang retak dan terlihat sudah keropos, bahkan nyaris ambruk.
Kepala Bagian (Kabag) Protokol Komunikasi Pimpinan (Prokopim) Sekretariat Daerah Kabupaten Bima, Suryadin mengatakan, situs Wadu Pa'a berada di bawah kewenangan BPCB Denpasar.
"Itu cagar budaya di bawah kewenangan Balai Cagar Budaya Bali. Untuk pemeliharaan kita cek dulu bagaimana jalur koordinasi dengan Dinas Dikbudpora," kata Suryadin, dikutip kompas.com.
Penulis : bbn/tim
Editor : Robby
News Lainnya
Berita Lainnya